Praktek
wakaf telah dikenal sejak awal Islam. Seperti yang diriwayatkan daru Umar r.a.
bahwa Umar bion Khattab r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar, lalu ia
datang kepada Nabi saw untuk meminta petunjuk mengenal tanah itu. Ia berkata
“Wahai Rasulullah, saya memperoleh tanah di Khaibar yang belum pernah sya
peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah
tersebut, apa perintahmu kepadaku mengenainya?” Nabi saw menjawab, “Jika mau,
kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan hasilnya”.
Dalam
catatan sejarah islam, wakaf uang sudah dipraktikkan sejak awal abad ledua
hijriyah. Diriwayatkan oleh al-Bukhari bahwa az-Zuhri yaitu salah satu ulama
terkemuka dan peletak dasar tadwin al-hadis memfatwakan bahwa
wakaf dinar dan dirham dianjurkan untuk pembangunan sarana sosial, dakwah, dan
pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikannya uang tersebut
sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya.
Wakaf
uang juga dikenal di masa dinasi Ayyubiyah dii Mesir. Pada masa itu,
perkembangan wakaf cukup maju karena tidak hanya sebatas pada benda tidak
bergerak, tapi juga benda bergerak semisal wakaf uang. Tahun 1178, dalam rangka
menyejahterakan ulama dan kepentingan misi madhab Sunni, Salahuddin Al-Ayyubi
mentapkan kebijakan bahwa orang Kristen yang datang dari Iskandaria untuk
berdagang wajib mebayar bea-cukai. Sayangnya tidak ada penjelasan apakah orang
Kristen yang datang dari Iskandaria itu membayar bea cukai dlam bentuk baranga
tau uang. Namun umumnya, bea cukai itu dibayar dalam bentuk uang. Uang tersebut
akhirnya diwakafkan kepada para fuqaha’ dam para keturunannya.