Minggu, 15 November 2015

Pengelolaan Wakaf di Sri Lanka

Pada Tahun 1931 Pemerintah Sri Lanka mengeluarkan Ordonansi Wakaf dan waris No. 31 tahun 1931. Wakaf di Sri Langka sudah ada sejak agama Islam masuk dan berkembang di negara tersebut. Di samping wakaf, lembaga Islam di Sri Langka juga mempraktikkan hibah, wasiat, kewarisan dan sebagainya. Pada tahun 1801 pemerintah Inggris mengeluarkan peraturan yang berkenaan dengan lembaga-lembaga Islam di Sri Langka berupa undang-undang untuk umat Islam yang dibakukan dalam Muhammadan Code 1806 yang didasarkan pada fikih Syafi'i dan diberlakukan bagi seluruh umat Islam.
 
Pada tahun 1931 pemerintah Sri Langka mengeluarkan Ordonansi Wakaf dan Waris No. 31 tahun 1931. Menurut ordonansi ini pengadilan distrik merupakan badan pengawas perwalian wakaf. Badan perwalian wakaf diwajibkan melaporkan keuangan wakaf yang diurusnya kepada pengadilan distrik. Pengabaian terhadap kewajiban ini dianggap melanggar undang-undang. Ordonansi wakaf saat itu tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya karena adanya pertentangan antara konsep wakaf menurut ajaran Islam dengan undang-undang Romawi-Belanda atau dengan Undang-undang Pemilikan yang sudah sangat lama berlaku di pengadilan distrik. Di samping itu aturan-aturan wakaf di Sri Langka juga tidak dapat diberi efek hukum di pengadilan negeri karena di Sri Langka sebelum tahun 1956 tidak ada peradilan syari'at.

Hukum yang mengatur transfer harta di pengadilan adalah hukum Romawi-Belanda. Hal ini berarti bahwa seorang Muslim, menurut undang-undang sebelum tahun 1956, tidak bisa menyerahkan harta bendanya kepada Tuhan seperti masjid atau tempat ibadah sehingga peraturan itu tidak mendukung keberadaan harta wakaf yang seharusnya dilindungi dan dimanfaatkan untuk kepentingan keagamaan dan kesejahteraan umat. Hal ini terbukti adanya penyalahgunaan harta wakaf dan banyaknya kasus hilangnya tanah wakaf di Sri Langka. Dalam praktiknya pengadilan distrik tidak melakukan pengawasan terhadap harta wakaf.

Untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul dalam praktik perwakafan ini, para intelektual Muslim dan ulama berusaha mencari jalan keluar agar wakaf dapat berjalan sesuai syariat. Atas usaha itu akhirnya pemerintah mengeluarkan Undang-undang Wakaf No. 51/1956.[22] Berdasarkan ini kemudian dibentuk Badan Wakaf yang bertugas mengawasi dan menyelesaikan masalah wakaf. Badan ini juga menghapuskan segala hal yang berhubungan dengan hak pemilikan yang dibuat sebelum tahun 1956. Anggota Badan Wakaf juga diberi hak untuk mengawasi semua benda wakaf yang terdiri atas 8.000 masjid, 30 sumbangan wakaf, dan sekitar 400 tanah kuburan para wali dan tempat ibadah kaum Muslimin. Uang yang diperoleh dari sumbangan masyarakat, hibah dan sumbangan lain dipergunakan untuk memelihara harta wakaf.

Dengan menguasai masalah hukum, diharapkan masing-masing anggota Badan Wakaf melindungi dan mempertahankan keberadaan wakaf dan mampu mengembangkannya. Meskipun sudah dikeluarkan Undang-undang No.51/1956 dan sudah dibentuk Badan Wakaf tetap saja muncul masalah. Hal ini karena undang-undang tersebut belum memiliki kekuatan untuk melaksanakan keputusan-keputusan Badan Wakaf. Oleh karena itu timbul protes dan ungkapan keprihatinan terhadap cara-cara yang dilakukan orang untuk menyelesaikan masalah wakaf. Di samping itu penunjukan para mutawalli wakaf dan pengelola wakaf juga tidak memuaskan umat Islam. Akhirnya ahli hukum Islam menyerukan kepada para intelektual untuk mengambil langkah perbaikan.
 
Permasalahan wakaf tersebut sedikit teratasi dengan dibentuknya Kementerian Agama yang berdiri sendiri pada tahun 1977. Kementerian Agama tersebut dikepalai oleh seorang anggota kabinet. Setelah ada Kementerian Agama, barulah dibuat amandemen Undang-undang Wakaf dengan peraturan No. 33 Tahun 1982. Dengan adanya amandemen dan peraturan baru dibentuklah Pengadilan Syariah yang khusus menangani masalah-masalah wakaf. Badan yang menunjuk para hakim pengadilan tersebut kemudian juga mengangkat Badan Pertimbangan Wakaf yang anggotanya orang-orang Muslim yang kompeten dalam bidangnya. Badan ini bertindak sebagai badan yang berwenang melakukan pemeriksaan terhadap masalah-masalah wakaf dan berwenang mengawasi seluruh perwalian wakaf, manajer (wakaf), masjid, sumbangan, rumah ibadah dan tanah (wakaf). Pengadilan Syariah dan Badan Pertimbangan Wakaf tersebut juga mempunyai wewenang untuk mengeluarkan keputusan-keputusan hukum yang kuat di Pengadilan Negeri. Setelah tahun 1982, masalah administrasi dan pelaksanaan wakaf diserahkan kepada Direktur Urusan Agama dan Kebudayaan Islam.

Perwakafan memang memerlukan kekuatan hukum dalam pelaksanaannya, karena tanpa adanya kekuatan hukum, wakaf sangat mudah diselewengkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar