Bila
ditinjau dari segi peruntukkan ditunjukkan kepada siapa wakaf itu, maka wakaf
dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Wakaf Ahli (Khusus)
Wakaf ahli disebut juga wakaf
keluarga atau wakaf khusus. Maksud wakaf ahli ialah wakaf yang ditujukan kepada
orang-orang tertentu, seorang atau terbilang, baik keluarga wakif maupun orang
lain. Misalnya, seseorang mewakafkan buku-buku yang ada di perpustakaan
pribadinya untuk keturunannya yang mampu menggunakan. Wakaf semacam ini
dipandang sah dan yang berhak menikmati harta wakaf itu adalah orang-orang yang
ditunjuk dalam pernyataan wakaf.
Wakaf ahli terkadang juga disebut wakaf ‘alal aulad, yaitu
wakaf yang peruntukannya bagi kepentingan kalangan keluarga sendiri dan
kerabat. Jadi pemanfaatan wakaf ini hanya terbatas pada golongan kerabat sesuai
dengan ikrar yang dikehendaki oleh wakif.
Sebagai
wakaf yang hasilnya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu yang umumnya
terdiri atas keluarga atau kerabat wakif, maka wakaf semacam ini dinamakan juga
wakaf Zurri yang berarti keturunan atau keluarga.
Wakaf
semacam ini sah, namun terdapat masalah ketika anak keturunannya punah atau
semakin berkembang. Dan setelah diadakan peninjauan kembali, yang mana hasilnya
dapat dipertimbangkan, maka wakaf ini dihapus dan ditiadakan, yang mana
beberapa ulama’ berkaidah bahwa akibat hukum wakaf ini adalah pendayagunaan status
wakafnya berubah menjadi Wakaf Khairi yang mana ini sudah menjadi
wewenang para hakim atau nadzir bahwa wakaf seperti ini seharusnya diubah
menjadi semacam wakaf khairi, yang mana dugunakan untuk umum.
b)
Wakaf khairi
Wakaf khairi ialah wakaf yang
sejak semula ditujukan untuk kepentingan umum dan tidak ditujukan kepada
orang-orang tertentu. Wakaf khairi inilah yang benar-benar sejalan dengan
amalan wakaf yang amat digembirakan dalam ajaran Islam, yang dinyatakan pahalanya
akan terus mengalir hingga wakaf meninggal, selama harta masih dapat diambil
manfaatnya.
Dalam
perwakafan ini Waqif mempunyai hak penuh untuk menentukan kepada
siapa wakaf itu akan diberikan, apakah untuk anaknya, cucunya, orang fakir
miskin atau diberikan untuk tempat ibadah, bahkan untuk dirinya sendiri. Dalam
hal ini untuk dirinya sendiri itu ulama berbeda pendapat dalam memandangnya,
Diantaranya yaitu :
Abu
Yusuf dari golongan Hanafi memperbolehkan wakaf untuk dirinya sendiri dan
mensyaratkannya bahwa hasilnya untuk dirinya sendiri selama wakif tersebut
masih hidup. Akan
tetapi menurut Muhammad yang juga dari golongan Hanafi, berpendapat bahwa tidak
memperbolehkan wakaf untuk dirinya sendiri dikarenakan syarat ini bertentangan
dengan tujuan pokok amalan wakaf. Bila dalam pengikrarannya wakaf ini
disertakan dalam syaratnya, maka perwakafannya batal.
Malik
juga berpendapat sama dengan Muhammad, bahwa tidak memeperbolehkan persyaratan
hasil barang wakaf untuk dirinya sendiri, akan tetapi syarat ini tidak
membatalkan amalan wakaf bila disertai dengan orang lain.
Dan
untuk mayoritas Syafi’iyyah juga tidak memperbolehkan syarat perwakafan untuk
dirinya sendiri dikarekan akan membatalkan perwakafan harta benda wakaf yang
akan diwakafkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar