Selasa, 30 Juni 2015

Wakaf Produktif di Negeri Singapura

Singapura memang negara dengan luasan tidak seberapa. Luas negara yang hanya berbeda 100 km2 saja dengan Jakarta ini pun punya penduduk yang lebih sedikit dari penduduk Jakarta. Tapi untuk urusan wakaf produktif, saya harus acungkan jempol atas kemampuan mereka dalam mengelola.
Adalah Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) yang memiliki andil besar dalam membangun paradigma wakaf produktif di Singapura. Mereka sadar akan pentingnya memiliki aset produktif di atas lahan wakaf yang ada guna mendukung aset-aset sosial yang tentunya membutuhkan biaya operasional tidak sedikit.
Terlebih, MUIS juga sangat sadar betapa berharganya nilai setiap jengkal tanah di Singapura bagi kebutuhan masyarakat. Baik untuk tempat tinggal, perkantoran, pusat bisnis hingga hotel tempat turis-turis yang gemar berwisata dan berbelanja di Singapura. Belum lagi, kunjungan para pasien (Indonesia) yang lebih senang berobat di Singapura karena menganggap kualitas dan layanan mereka lebih bagus.
Alhasil, jadilah ratusan properti wakaf yang tidak hanya produktif, tetapi menjadi sebuah modal sosial yang berharga sebagai sumber pendanaan program-program sosial MUIS. Hingga 2010, properti wakaf di Singapura mencapai nilai SGD 500 milyar (Rp 3,5 trilyun) yang terdiri atas beragam perumahan, perkantoran, pusat bisnis, hingga serviced apartemen. Untuk serviced apartemen, tidak tanggung-tanggung, mereka bekerja sama dengan jaringan ASCOTT International dalam pengelolaan properti wakaf produktif bernama Somerset Beencolen Singapore.
Seluruh properti wakaf dikelola oleh WAREES, perusahaan real estate yang sahamnya 100 persen dimiliki MUIS. Melalui Warees, hasil pengelolaan properti wakaf dapat menghasilkan surplus hingga SGD 3 juta atau sekitar Rp 21 milyar. Sekitar 60 persen dari surplus ini disalurkan untuk memelihara 69 masjid yang ada di Singapura. Tidak heran, tidak ada kotak amal yang berkeliling saat saya shalat Jumat di Masjid Sultan (Bugis) seperti halnya di Indonesia.
Bagian lain dari surplus disalurkan untuk pengembangan pendidikan Islam dan kegiatan karitas lain. Pendidikan madrasah di Singapura menjadi barang mahal karena ketatnya peraturan pemerintah. Biaya per bulan madrasah di sana mencapai SGD 800 – 1.200, atau sekitar Rp 3,5 juta – 8 juta. Biaya pemakaman juga menjadi masalah tersendiri di Singapura. Karenanya, sebagian surplus wakaf produktif di alokasikan ke bidang-bidang ini.
Bagaimanapun, saya memiliki mimpi besar atas wakaf produktif di Indonesia. Dengan jumlah 450.000 lahan wakaf, seluas 3,3 milyar meter persegi dan senilai Rp 600 trilyun, Indonesia punya potensi jauh melampaui keberhasilan Singapura.  Jumlah penduduk kelas menengah Indonesia juga tidak sedikit, sejumlah 100 juta orang kabarnya.  Kalo 25 juta orang berwakaf tunai Rp 1 juta per tahun saja, akan tersedia dana investasi wakaf minimal Rp 25 trilyun per tahun. Kita bisa produktifkan banyak aset wakaf dengan dana ini.
Semoga potensi tidak hanya menjadi sekedar potensi. Mari hadirkan Indonesia yang lebih kuat dan penuh berkah dengan wakaf produktif. Wallahu a’lam bis shawab.

(Oleh Urip Budiarto, Direktur Tabung Wakaf Indonesia. Sumber: tabungwakaf.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar