Pada masa Pemerintahan Muhammad Ali Pasya, perwakafan
di Mesir tidak terurus secara baik sehingga tidak memberikan kontribusi yang
berarti bagi pembangunan ekonomi Mesir. Wakaf pada masa tersebut menjadi asset
yang terlantar. Hal itu disebabkan konsentrasi pemerintahan Muhammad Ali Pasya
terfokus pada upaya mewujudkan stabilitas politik internal dalam negeri dalam
rangka menghadapi masuknya pasukan barat ke Mesir. Kendatipun adanya usaha
meningkatkan perekonomian Mesir, namun wakaf tetap secara umum terabaikan. Dia berusaha
mengembalikan tanah kepada petani sebelumnya yang diambil oleh negara.
Ironisnya, petani tetap saja berurusan dengan negara.
Keinginan kuat untuk mengelola wakaf secara baik baru muncul pada masa pasca pemerintahan Muhammad Ali Pasya. Usaha pertama yang dilakukan oleh pemerintah Mesir adalah menertibkan tanah wakaf melalui penjagaan dan pemeliharaan serta diarahkan pada tujuan kemaslahatan umum sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Selain itu, pemerintah juga memberikan perlindungan kepada para mustahiq. Langkah selanjutnya yang dilakukan pemerintah adalah membentuk diwan al-waqf yang menjadi cikal bakal departemen wakaf.
Kendatipun pemerintah Mesir telah membentuk satu departemen untuk mengelola wakaf secara serius, tetapi ternyata persoalan lainnya muncul seperti tidak adanya rasa keadilan yang ditetapkan oleh para pewakaf (wakif), pengawasan dan pengelolan yang kurang profesional. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya tidak jarang wakif dalam berwakaf tidak memperlihatkan rasa keadilan dalam masyarakat. Karena pada saat itu belum ada aturan yang mengatur bagaimana hak dan kewajiban wakif dan dengan pihak yang lain, sehingga terkesan aturan tersebut ditentukan wakif sendiri, terutama yang berkaitan dengan orang-orang yang berhak menerima harta wakaf tersebut.
Keinginan kuat untuk mengelola wakaf secara baik baru muncul pada masa pasca pemerintahan Muhammad Ali Pasya. Usaha pertama yang dilakukan oleh pemerintah Mesir adalah menertibkan tanah wakaf melalui penjagaan dan pemeliharaan serta diarahkan pada tujuan kemaslahatan umum sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Selain itu, pemerintah juga memberikan perlindungan kepada para mustahiq. Langkah selanjutnya yang dilakukan pemerintah adalah membentuk diwan al-waqf yang menjadi cikal bakal departemen wakaf.
Kendatipun pemerintah Mesir telah membentuk satu departemen untuk mengelola wakaf secara serius, tetapi ternyata persoalan lainnya muncul seperti tidak adanya rasa keadilan yang ditetapkan oleh para pewakaf (wakif), pengawasan dan pengelolan yang kurang profesional. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya tidak jarang wakif dalam berwakaf tidak memperlihatkan rasa keadilan dalam masyarakat. Karena pada saat itu belum ada aturan yang mengatur bagaimana hak dan kewajiban wakif dan dengan pihak yang lain, sehingga terkesan aturan tersebut ditentukan wakif sendiri, terutama yang berkaitan dengan orang-orang yang berhak menerima harta wakaf tersebut.
Kondisi demikian memunculkan sikap malas dan
menurunkan etos kerja sebahagian mustahiq. Sebagian dari penerima wakaf hanya
menggantungkan ekonominya dari wakaf itu saja, sehingga mereka malas untuk
bekerja dan menambah deretan pengangguran dalam masyarakat karena di antara
mereka tidak lagi punya etos kerja yang baik. Di samping itu, terdapat pula
para nazir yang menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan praktek riba.
Melihat ketidakteraturan pegelolaan wakaf tersebut, beberapa kalangan
masyarakat yang memiliki perhatian pada persoalan wakaf mendesak pemerintah
untuk segera melakukan perubahan peraturan perundang-undangan wakaf. Pada tahun
1926 masyarakat mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada Dewan
Perwakilan Rakyat. Tetapi ide dan wacana yang dikembangkan itu justru
mengundang polemik yang panjang di kalangan masyarakat luas.
Pemerintah akhirnya mensahkan undang-undang tersebut
meskipun proses menuju pengesahan itu membutuhkan waktu yang agak panjang. Pada
tahun 1946 peraturan perundang-undangan tentang wakaf menjadi sebuah kenyataan
dan menjadi sebuah putusan politik dengan dikeluarkannya undang-undang No. 48
tahun 1946 yang isinya mencakup terjadinya wakaf dan syarat-syaratnya.
Pengesahan undang-undang tersebut menjadi harapan baru bagi umat Islam Mesir
untuk mengelola asset wakaf. Akan tetapi ternyata setelah undang-undang
tersebut disahkan, persoalan muncul. Persoalan itu terlihat pada semakin
tajamnya perbedaan antara pemeritah dengan ulama, terutama yang berkaitan
dengan terjadinya wakaf. Menurut undang-undang yang baru
saja disahkan dijelaskan bahwa wakif boleh menarik kembali harta yang telah
diwakafkan ataupun mengubahnya, tetapi tidak diperbolehkan untuk menarik wakaf
untuk diri sendiri. Wakaf jenis inilah yang terbanyak beredar di Mesir pada
masa sebelumnya. Misalnya, wakaf yang diberikan untuk kepentingan publik
seperti masjid. Dalam hal ini wakif tidak dibolehkan menarik kembali dan tidak
boleh mengubahnya. Di samping itu undang-undang ini juga memuat tentang
berakhimya wakaf muaqqat (wakaf yang dibatasi waktunya). Menurut undang-undang
ini wakaf muaqqat hanya terbatas pada wakaf ahli, sedangkan wakaf khari tidak
dibatasi waktunya. Dalam undang-undang ini juga dicantumkan tentang pihak-pihak
yang berhak atas harta wakaf, nazir, kekuasaan nazir atas harta wakaf dan
pengembangannya.
Pada tahun 1952 pemerintah melakukan revisi terhadap undang-undang ini dengan
mengeluarkan Undang-Undang No. 180 tahun 1952 yang berisi tentang penghapusan
peraturan wakaf ahli dengan disertai peraturan pelaksanaannya. Namun, di
dalamnya tidak dibahas bagaimana mekanisme pengawasan dan siapa yang
bertanggung jawab serta bagaimana prosedur membelanjakannya. Inilah kelemahan
pertama yang terdapat dalam undang-undang baru ini. Dengan kata lain,
undang-undang ini ternyata juga belum dapat menjawab persoalan dan subtansi
yang diinginkan oleh masyarakat.
Menyadari hal yang demikian maka pada tahun yang sama pemerintah kembali
mengajukan rancangan undang-undang yang akhirnya disahkan menjadi sebuah produk
hukum No. 247 tentang pengawasan terhadap wakaf khairi dan penertiban belanja
pemeliharaan harta wakaf. Di samping berisi tentang bagaimana pengawasan,
prosedur pembelanjaan, dan pemeliharaan harta wakaf, undang-undang ini juga
mengatur tentang kebolehan wizarat al-auqaf dengan persetujuan Majelis Tinggi
Wakaf, untuk menyalurkan apakah seluruh atau pun sebagian saja dan harta wakaf
jika wakif tidak menentukan penerima wakaf.
Pada tahun 1957 pemerintah mengajukan lagi rancangan undang-undang wakaf yang
baru yang akhirnya disahkan menjadi sebuah Undang-Undang No. 30 tahun 1957.
Melihat ketentuan hukum yang ada dalam undang-undang ini, pada dasamya tidaklah
banyak memuat hal-hal yang baru, kecuali sekedar menyempurnakan dan meluruskan undang-undang
sebelumnya. Adapun yang terbaru dari undang-undang ini hanyalah menyangkut
tentang pendirian rumah sakit yang berada di kota Kairo, Kemudian pada tahun
yang sama disusul dengan undang-undang (qanun) No. 152 tahun 1957 yang mengatur
tentang penggantian tanah pertanian yang diwakafkan untuk tujuan kebaikan.
Berkaitan dengan pengaturan tentang penggantian tanah pertanian, pemerintah
mengeluarkan undang-undang tersendiri, yaitu undang undang No. 20 tahun 1957
yang memuat tentang aturan lembaga perekonomian. Kemudian selanjutnya
dilengkapi dengan peraturan No. 51 tahun 1958, yang merupakan penyempurnaan
dari undang undang No. 152 tahun 1957. Dengan demikian sebagai negara yang
mayoritas penduduknya muslim secara terus menerus telah melakukan proses
pematangan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan wakaf dengan
senantiasa merujuk kepada syari’at Islam. Salah satu hasil dari proses ini
ialah pada tahun 1971 pemerintah berhasil membentuk suatu badan yang khusus
menangani persoalan wakaf dan pengembangannya yang disesuaikan dengan Qanun No.
80 tahun 1971. Badan ini bertugas melakukan kerjasama dalam pengawasan dan
memeriksa tujuan undang-undang wakaf dan program wizarat al-auqaf. Di samping
itu, badan ini juga diberi wewenang untuk mengusut dan melaksanakan semua
pendistribusian wakaf serta semua kegiatan yang sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan.
Dalam rangka memudahkan dalam pelaksanaan undang-undang ini, maka pemerintah
membentuk struktur kepengurusan wakaf yang terdiri dari ketua badan atau
lembaga dan direktur umum. Direktur umum dibantu oleh tiga direktur umum
lainnya, yang membidangi harta benda dari pengembangan, bidang teknik
(pengukuran) dan bidang pertanian. Di samping itu, kepengurusan ini juga
dibantu oleh empat orang wakil menteri, yaitu kementerian pertanian, kementerian
kependudukan dan kementerian ekonomi serta kementerian perwakafan. Kemudian
terdapat juga penasehat dan majelis pengadilan tinggi yang dipilih oleh majelis
dari seorang ahli hukum Islam yang dipilih oleh menteri perwakafan. Adapun
harta benda yang dikelola oleh badan ini: pertama, harta yang dikhususkan oleh
pemerintah untuk anggaran umum, kedua, barang yang menjadi jaminan hutang,
ketiga, hibah, wasiat dan sedekah, keempat, dokumen, uang atau harta yang harus
dibelanjakan dan sesuatu yang sudah menjadi haknya untuk dikelola sesuai dengan
Undang-undang No. 70 tahun 1972. Kelima, hasil lain yang berguna untuk
menmgkatkan dan mengembangkan harta wakaf.
Sebagai negara yang sudah cukup lama mengelola harta wakaf, Mesir telah
berhasil mengembangkan wakaf untuk pengembangan ekonomi umat. Di antara
faktor-faktor yang menjadi pendukungnya adalah: Pertama, pihak pengelola wakaf
menyimpan hasil harta wakaf khair di bank sehingga dapat berkembang. Kedua,
untuk pembangunan ekonomi umat, pemerintah khususnya Departemen Perwakafan ikut
berpartisipasi dalam mendirikan Bank Syari’ah. Ketiga, Departemen Perwakafan
melakukan kerjasama dengan pihak lain sebagai penanam modal untuk pendirian
pabrik, rumah sakit Islam, pemeliharaan ternak, bank untuk perumahan dan
bangunan dan lain-lain. Keempat, Departemen Perwakafan mengelola tanah wakaf
yang kosong untuk dikelola secara produktif melalui pendirian lembaga lembaga
perekonomian, bekerja sama dengan perusahaan besi dan baja.
Di samping itu, dalam rangka pengembangan wakaf departemen wakaf tidak hanya
menanamkan sahamnya dalam skala besar tetapi juga pada penanaman dalam skala
kecil. Misalnya, membantu permodalan usaha kecil dan menengah serta membantu
kaum dhuafa’, menjaga dan memelihara kesehatan masyarakat melalui pendirian
rumah sakit dan penyediaan obat-obatan dan poliklinik, mendirikan tempat-tempat
ibadah dan lembaga pendidikan serta ikut serta dalam pengembangan ilmu pengetahuan
dan kebudayaan.
Dengan demikian terlihat jelas bahwa pengelolaan harta wakaf di Mesir dikelola
secara serius dan produktif oleh badan wakaf yang dibentuk oleh pemerintah
dalam rangka membantu kepentingan masyarakat baik di bidang sosial, agama,
pendidikan, ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan. Pengelolaannya juga
terdiri dari tenaga-tenaga yang profesional dan sistem pengelolaannya juga didukung
o!eh peraturan perundang-undangan yang memadai serta mudah untuk diterapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar