Wakaf secara bahasa berasal dari kata waqafa-yaqifu yang
artinya berhenti, lawan dari kata istamarra (Warson, 1984:
1683). Kata ini sering disamakan dengan al-tah}bi>s atau al-tasbi>l yang
bermakna al-h}abs ‘an tas}arruf,yakni mencegah dari mengelola
(az-Zuhayli, t.th.: 7599).
Adapun secara istilah, wakaf menurut Abu Hanifah
adalah menahan harta di bawah naungan pemiliknya disertai pemberian manfaat
sebagai sedekah (h}abs al-‘aini ‘ala> milk al-wa>qif wa tas}adduq bi
al-manfa‘ah) (al-Hasfaki, t.th./IV: 532). Kemudian, menurut Jumhur, wakaf
adalah menahan harta yang memungkinkan untuk mengambil manfaat dengan tetapnya
harta tersebut serta memutus pengelolaan dari wakif dan selainnya dengan tujuan
mendekatkan diri kepada Allah (h}abs ma>l yumkinu al-‘intifa>‘
bihi>, ma‘a> baqa>’ ‘ainihi, bi qat}‘i at-tas}arruf min al-wa>qif
wa gairihi, taqarruban ila> Alla>h) (az-Zuhayli, t.th.: 7601). Namun,
menurut al-Kabisi, definisi yang lebih singkat namun padat (ja>mi‘
ma>ni‘) adalah definisi Ibnu Qudamah (t.th./VI: 187) yang mengadopsi
langsung dari potongan hadis Rasulullah, yang berbunyi ‘menahan asal dan
mengalirkan hasilnya’ (in syi’ta habasta as}laha> fa tas}addaq biha>)
(al-Kabisi, 2004: 61). Hadis tersebut secara jelas dimuat antara lain dalam
sunan at-Turmudzi (t.th./V: 388) dan Sunan Ibn Majah (t.th./VII: 325). Pendapat
ini juga menjadi acuan dalam definisi wakaf dalam pandangan Tabung Wakaf
Indonesia (Saidi, 2007: 2)
Untuk terlaksananya sebuah wakaf, perlu dipahami
terlebih dahulu seputar masalah rukun wakaf. Dalam kitab-kitab klasik, semisal Raud}ah
at-T{a>libi>n, disebutkan bahwa rukun wakaf ada empat hal, yakni wa>kif (subyek
wakaf), mauqu>f (obyek wakaf), mauqu>f alaih (pengelola
wakaf), dan s}i>gat (akad) (al-Nawawi,
t.th./II: 252-256). Wakaf uang merupakan salah satu obyek wakaf yang dalam
pandangan an-Nawawi didefinisikan sebagai setiap harta tertentu yang dimiliki
dan memungkinkan untuk dipindahkan dan diambil manfaatnya (t.th./II: 253).
Al-Khatib dalam kitab al-Iqna>’ mengartikan mauqu>f sebagai
barang tertentu yang dapat diambil manfaatnya dengan tidak melenyapkan barang
tersebut dan merupakan hak milik dari wakif (t.th./II: 73). Dengan demikian,
obyek wakaf, termasuk wakaf uang, meliputi beberapa syarat sehingga layak
menjadi barang yang diwakafkan.
b. Pengertian Wakaf Uang
Wakaf uang merupakan terjemahan langsung dari istilah Cash
Waqf yang populer di Bangladesh, tempat A. Mannan menggagas idenya.
Dalam beberapa literatur lain, Cash Waqf juga dimaknai sebagai
wakaf tunai. Hanya saja, makna tunai ini sering disalahartikan sebagai lawan
kata dari kredit, sehingga pemaknaan cash waqf sebagai wakaf
tunai menjadi kurang pas. Untuk itu, dalam tulisan ini, cash waqf akan
diterjemahkan sebagai wakaf uang, kecuali jika sudah termaktub dalam hukum
positif dan penamaan produk, seperti Sertifikat Wakaf Tunai.
Selanjutnya, wakaf uang dalam definisi Departemen
Agama (Djunaidi, 2007: 3) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok
orang, dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang. Dengan demikian, wakaf
uang merupakan salah satu bentuk wakaf yang diserahkan oleh seorang wakif
kepada nadzir dalam bentuk uang kontan. Hal ini selaras dengan definisi wakaf
yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (2003: 85) tanggal
11 Mei 2002 saat merilis fatwa tentang wakaf uang.
“Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyapnya
bendanya atau pokoknya, dengan cara melakukan tindakan hukum terhadap benda
tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya)
pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.”
Dalam definisi di atas, wakaf tidak lagi terbatas pada
benda yang tetap wujudnya, melainkan wakaf dapat berupa benda yang tetap
nilainya atau pokoknya. Uang masuk dalam kategori benda yang tetap pokoknya.
Dengan demikian, definisi MUI di atas memberikan legitimasi kebolehan wakaf
uang.
c. Sejarah Wakaf Uang
Praktik wakaf telah dikenal sejak awal Islam. Bahkan,
masyarakat sebelum Islam pun telah mempraktikkan sejenis wakaf, tapi dengan
nama lain, bukan wakaf. Karena praktik sejenis wakaf telah ada sebelum Islam,
tidak terlalu menyimpang kalau kemudian dikatakan bahwa wakaf adalah kelanjutan
dari praktik masyarakat sebelum Islam (Ilchman, 2006). Dalam catatan sejarah
Islam, wakaf tunai sudah dipraktikkan sejak awal abad kedua hijriyah.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari (t.th./IX: 330), bahwa imam al-Zuhri (w. 124 H)
salah satu ulama terkemuka dan peletak dasar tadwi>n al-hadi>s
memfatwakan, dianjurkannya wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana
sosial, dakwah, dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah dengan
menjadikannya uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan
keuntungannya sebagai wakaf.
Wakaf uang juga dikenal pada masa dinasti Ayyubiyah di
Mesir. Pada masa itu, perkembangan wakaf sangat menggembirakan. Wakaf tidak
hanya sebatas pada benda tidak bergerak, tapi juga benda bergerak semisal wakaf
uang. Tahun 1178, dalam rangka menyejahterakan ulama dan kepentingan misi
madhab Sunni, Salahuddin al-Ayyubi menetapkan kebijakan bahwa orang Kristen
yang datang dari Iskandaria untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Tidak ada
penjelasan, orang Kristen yang datang dari Iskandaria itu membayar bea cukai
dalam bentuk barang atau uang. Namun lazimnya, bea cukai dibayar dalam bentuk
uang. Uang hasil pembayaran bea cukai itu dikumpulkan dan diwakafkan kepada
para fuqaha’ dan para keturunannya (Djunaidi, 2007, 12).
Selain memanfaatkan wakaf untuk kesejahteraan
masyarakat seperti para ulama, dinasti Ayyubiyyah juga memanfaatkan wakaf untuk
kepentingan politiknya dan misi alirannya, yaitu madhab Sunni, dan
mempertahankan kekuasaannya. Dinasti Ayyubiyah juga menjadikan harta milik
negara yang berada di baitul mal sebagai modal untuk diwakafkan demi
perkembangan madhab Sunni untuk menggantikan madhab Syi’ah yang di bawah
dinasti sebelumnya, yaitu Fatimiyah (Djunaidi, 2007, 12).
Salahuddin al-Ayyubi juga banyak mewakafkan lahan
milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa untuk
pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’i, madrasah madhab Maliki, dan mazhab
Hanafi dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti
pembangunan madrasah mazhab Syafi’i dan kuburan Imam Syafi’i dengan cara
mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil. (Djunaidi, 2007, 12)
Hukum mewakafkan harta milik negara seperti yang
dilakukan salahuddin al-Ayyubi adalah boleh. Penguasa sebelum Salahuddin,
Nuruddin asy-Syahid mewakafkan harta milik negara. Nuruddin mewakafkan harta
milik negara, karena ada fatwa yang dikeluarkan oleh ulama pada masa itu, Ibnu
Ishrun dan didukung oleh ulama lainnya, bahwa mewakafkan harta milik negara
hukumnya boleh (jawa>z). Argumentasi kebolehannya ialah untuk memelihara dan
menjaga kekayaan negara. (Djunaidi, 2007b, 13)
Dinasti Mamluk juga mengembangkan wakaf dengan
pesatnya. Apa saja boleh diwakafkan dengan syarat dapat diambil manfaatnya.
Tetapi, yang banyak diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan
bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan, dan tempat belajar. Juga,
pada masa dinasti Mamluk terdapat hamba sahaya (budak) yang diwakafkan untuk
merawat lembaga-lembaga agama. Misalnya, mewakafkan budak untuk memelihara
masjid dan madrasah (Djunaidi, 2007b, 13).
Di era modern ini, wakaf uang yang menjadi populer
berkat sentuhan piawai M. A. Mannan (2001: 36) dengan berdirinya sebuah lembaga
yang ia sebut Social Investment Bank Limited (SIBL) di Bangladesh yang
memperkenalkan produk Sertifikat Wakaf Tunai untuk yang pertama kali di dunia.
SIBL mengumpulkan dana dari para aghniya’ (orang kaya) untuk dikelola secara
profesional sehingga menghasilkan keuntungan yang dapat disalurkan kepada para
mustadh’afin (orang fakir miskin) (Djunaidi, 2007a: 12).
Sekilas tentang Bangladesh, negara ini termasuk negara
miskin dan terbelakang dengan jumlah penduduk yang besar, sekitar 120 juta
dengan luas daerah 55.000 mil persegi. Selain itu, kondisi alam yang seringkali
kurang menguntungkan karena negara ini termasuk sering tertimpa bencana banjir
dan angin topan. Peningkatan populasi Bangladesh cukup padat, yaitu 717 orang
per km persegi dan juga termasuk salah satu dari negara yang mempunyai sumber
daya alam yang sangat terbatas. Berbagai dimensi kemiskinan ini antara lain
tercermin dari penurunan pendapatan riil sektor pertanian, ketidakmerataan
distribusi pendapatan yang cenderung menguntungkan masyarakat perkotaan, perbedaan
gaji antarsektor formal dan informal, peningkatan dramatis dalam biaya hidup,
mencuatnya beberapa masalah pemenuhan kesehatan masyarakat, pengangguran, dan
migrasi internal. Mungkin jika ditilik dari kehidupan ketatanegaraan,
Bangladesh sebenarnya membutuhkan manajemen SDM yang lebih baik, agar kehidupan
masyarakatnya lebih sejahtera (Djunaidi, 2007b: 114).
Terlepas dari fenomena kehidupan masyarakat yang
relatif miskin dan serba kekurangan, di bidang yang lain, terutama dalam
pengamalan ajaran keagamaan, masyarakat Bangladesh bisa dianggap begitu
antusias dalam hal praktik ajaran keagamaan. Dalam hal yang berkaitan dengan
pemahaman ajaran agama dan kebutuhan peningkatan ekonomi, masyarakat Bangladesh
sepertinya sadar bahwa mereka membutuhkan alternatif pengembangan ekonomi
masyarakat yang berbasis syariah. Wakaf uang, selain juga wakaf reguler,
menjadi sarana pendukung kesejahteraan ekonomi masyarakat. Di Bangladesh, wakaf
telah dikelola oleh Social Investment Bank Ltd (SIBL). Bank ini telah
mengembangkan pasar modal sosial (The Volutary Capital Market).
Instrumen-instrumen keuangan Islam yang telah dikembangkan, antara lain: surat
obligasi pembangunan perangkat wakaf (Waqf Properties Development Bond),
sertifikat wakaf uang (Cash Waqf Deposit Certificate), sertifikat wakaf
keluarga (Family Waqf Certificate), obligasi pembangunan perangkat masjid
(Mosque Properties Development Bond), saham komunitas masjid (Mosque Community
Share), Quard-e-Hasana Certificate, sertifikat pembayaran zakat (Zakat/Ushar
Payment Certificate), sertifikat simpanan haji (Hajj Saving Certificate) dan
sebagainya (Djunaidi, 2007b: 114-115).
d. Dasar Hukum Wakaf Uang
1) Al-Qur’an
a) Ali Imran: 92
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa
saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.
b) al-Baqarah: 261
2) Hadis
a) Hadis Riwayat Ahmad
????
“Apabila anak Adam meningal dunia, maka putuslah
amalnya, kecuali tiga perkara, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak
shaleh yang mendoakan orang tuanya.”
b) Hadis Riwayat al-Bukhari
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. bahwa Umar bin
al-Khattab r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi
saw untuk meminta petunjuk mengenai tanah itu. Ia berkata, “wahai rasulullah,
saya memperoleh tanah di Khaibar yang belum pernah saya peroleh harta yang
lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut, apa perintah Engkau kepadaku
mengenainya? Nabi saw menjawab: Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu
sedekahkan hasilnya.”
Kedua hadis di atas merupakan dasar umum
disyariatkannya wakaf dan juga dipakai oleh MUI dalam fatwa kebolehan wakaf
uang. Hadis pertama mendorong manusia untuk menyisihkan sebagain rezekinya
sebagai tabungan akhirat dalam bentuk sedekah jariah. Uang merupakan sarana
yang paling mudah untuk disedekahnya. Pada hadis kedua, wakaf uang menjadikan
hadis ini sebagai pijakan hukum karena menganggap bahwa wakaf uang memiliki
hakikat yang sama dengan wakaf tanah, yakni harta pokoknya tetap dan hasilnya
dapat dikeluarkan. Dengan mekanisme wakaf uang yang telah ditentukan, pokok harta
akan dijamin kelestariannya dan hasil usaha atas penggunaan uang tersebut dapat
dipakai untuk mendanai kepentingan umat.
3) Pendapat Ulama
Hukum wakaf uang telah menjadi perhatian para ahli
hukum Islam. Beberapa sumber menyebutkan bahwa wakaf uang telah dipraktikkan
oleh masyarakat yang menganut madhab Hanafi.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum wakaf uang.
Imam al-Bukhari (t.th./IX: 330), mengungkapkan bahwa imam az-Zuhri (w. 124 H)
berpendapat bahwa dinar boleh diwakafkan. Caranya adalah dengan menjadikan
dinar \itu sebagai modal usaha (dagang), kemudian menyalurkan keuntungannya
sebagai wakaf. Wahbah az-Zuhaily juga mengungkapkan bahwa madhab hanafi
membolehkan wakaf uang sebagai pengecualian, atas dasar istihsan bi al-‘urfi,
karena sudah banyak dilakukan oleh masyarakat. Mazhab Hanafi memang berpendapat
bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf (adat istiadat) mempunyai kekuatan
yang sama dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash (teks) (VIII, 1985:
162). Dasar argumentasi madhab Hanafi adalah hadis yang diriwayatkan oleh
Abdullah bin Mas’ud,
“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka
dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum
muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk.”
Cara melakukan wakaf uang memurut madhab Hanafi ialah
menjadikannya modal usaha dengan mudharabah atau mubadha’ah. Sedangkan
keuntungannya disedekahkan kepada pihak wakaf. Pendapat ini didukung oleh Ibn
Jibrin (//ibn-jebreen.com), salah satu ulama modern, bahwa wakaf uang harus
diberdayakan sehingga mampu memberikan kemudahan dalam membantu orang-orang
yang secara ekonomi kurang beruntung.
Ibn Abidin mengemukakan bahwa wakaf uang yang
dikatakan merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakat adalah kebiasaan yang
berlaku di wilayah Romawi, sedangkan di negeri lain, wakaf uang bukan merupakan
kebiasaan. Karena itu, Ibn Abidin berpandangan bahwa wakaf uang tidak boleh
atau tidak sah (Djunaidi, 2007: 5). Madhab Syafi’i berpandangan bahwa wakaf
uang tidak dibolehkan seperti yang disampaikan Muhyiddin an-Nawawi (t.th./XV:
325) dalam kitab al-Majmu>’nya. Menurutnya, madhab Syafi’i tidak membolehkan
wakaf uang karena dinar dan dirham akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak
ada lagi wujudnya.
Perbedaan pendapat di atas, bahwa alasan boleh dan
tidak bolehnya wakaf uang berkisar pada wujud uang. Apakah wujud uang itu
setelah digunakan atau dibayarkan masih ada seperti semula, terpelihara, dan
dapat menghasilkan keuntungan lagi pada waktu yang lama? Namun kalau melihat
perkembangan sistem perekonomian yang berkembang sekarang, sangat mungkin untuk
melaksanakan wakaf uang. Misalnya uang yang diwakafkan ini dijadikan modal
usaha seperti yang dikatakan oleh madhab Hanafi. Atau diinvestasikan dalam
wujud saham di perusahaan yang kuat atau didepositokan di perbankan syariah,
dan keuntungannya dapat disalurkan sebagai hasil wakaf. Wakaf uang yang
diinvestasikan dalam wujud saham atau deposito, wujud atau lebih tepatnya nilai
uang tetap terpelihara dan menghasilkan keuntungan dalam jangka waktu yang lama
(Djunaidi, 2007: 6)
Selain ulama mazhab Hanafi, ada sebagai ulama yang
mengatakan bahwa mazhab Syafi’i juga membolehkan wakaf uang sebagaimana ditulis
oleh al-Mawardi (t.th/VII: 1299).
“Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang
dibolehkannya wakaf dinar dan dirham.”
Komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga
membolehkan wakaf uang (2003: 86). Fatwa komisi fatwa MUI itu dikeluarkan pada
tanggal 11 Mei 2002. Dalam fatwa tersebut ditetapkan bahwa wakaf uang merupakan
wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam
bentuk uang tunai (cash). Termasuk dalam pengertian uang adalah surat-surat
berharga. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang
dibilehkan secara syar’i. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya,
tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.
(Musnad Ahmad)
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang
yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat
gandakan (ganjaran) bagi
siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.Kedua ayat di atas termasuk ayat-ayat global
yang mendorong umat Islam untuk menyisihkan sebagian rezekinya untuk
kepentingan umum. Ayat ini sering disitir untuk mendorong kaum muslimin
berinfaq dan bersedekah. Wakaf termasuk bagiaan dari rangkaian sedekah yang
justru sifatnya kekal. Dengan begitu, penggunaan kedua ayat sebagai dasar pijak
hukum dibolehkannya wakaf uang menemui relevansinya. Sebagai tambahan, kedua
ayat di atas termasuk landasan hukum bagi Majelis Ulama Indonesia untuk
membolehkan wakaf uang.
Melihat popularitas wakaf uang yang belum dikenal pada
masa awal Islam, maka tidak heran jika pembahasan dasar hukum wakaf uang juga
sulit ditemukan dalam kitab-kitab klasik. Bahkan, wakaf pun hanya terbatas pada
harta tidak bergerak sebagaimana dipahami dalam fikih klasik. Namun, seiring
perjalanan waktu, wakaf uang pun mendapat legitimasi hukum. Setidaknya, berikut
ini dipaparkan sumber pijakan dibolehkannya wakaf uang. Sumber-sumber tersebut
terdiri dari ayat al-Qur’an, hadis, dan pendapat ulama. (Sumber: wakafcenter.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar